Selasa, 20 Maret 2012

Caruban Nagari, Menengok Cirebon di Masa Silam



Gunung Cermai dengan latar depan jalan utama yang menghubungkan Cirebon Kuningan, dilihat dari arah timur laut. Gambar diambil sekitar tahun 1920.

PANORAMA Hindia Belanda yang bergunung-gunung, berbukit, ditambah hamparan sawah hijau menguning menjadi salah satu hal yang membuat warga Belanda terkagum-kagum. Lukisan alam itu banyak mengisi album keluarga Belanda yang pernah menjalani hidup di salah satu tempat di Nusantara ini.

Sebut saja WG Peekema asal Den Haag dan Nyonya Fisser-Schefer dari Hilversum. Nyonya Peekema menyimpan foto panorama Gunung Ciremai di tahun 1920. Dalam koleksi foto tua di KITLV  (Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde/Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribbean studies) atau  Lembaga Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda, hasil jepretan Peekema diberi nama De Tjermai met op de voorgrond de grote weg tussen Cheribon en Koeningan, gezien vanuit het noordoosten (Gunung Cermai dengan latar depan jalan utama yang menghubungkan Cirebon – Kuningan, dilihat dari arah timur laut). Gambar diambil sekitar tahun 1920.

Sementara Fisser-Schefer mengambil pemandangan Cirebon dengan Gunung Ciremai pada 1938. Fotonya lebih menggambarkan suasana kota Cirebon yang berhadapan dengan Gununng Ciremai.

Gunung Ceremai atau Ciremai masuk dalam tiga wilayah kabupaten di Jawa Barat, yaitu Cirebon, Kuningan, dan Majalengka.  Gunung api ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat dan memang bisa dinikmati siapapun yang melintas jalur pantura di sekitar Cirebon. Menurut Thomas Stamford Raffles dalam History of Java yang terbit pada 1817, gunung itu merupakan tempat Raden Tanduran melakukan upacara penebusan dosa. Raden Tanduran tak lain pendiri Kerajaan Majapahit pada 1221. Raffles menyebut Gunung Chermai sebagai sebuah gunung di Cheribon.

Dalam kisah tentang asal muasal Cirebon dikatakan, Cirebon berasal dari bahasa Sunda, Cai dan Rebon, air dan udang. Kisah lain menyebutkan, Cirebon berasal dari kata Sarumban kemudian berubah menjadi Caruban atau campuran karena Cirebon sebagai kota pelabuhan menjadi tempat bercampurnya suku Jawa, Sunda, Arab, Melayu, dan China. Caruban berubah lagi menjadi Carbon, Cerbon, dan Cirebon. Kota ini berdiri sekitar 1440-an.

Sementara itu Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels mengisahkan, Cirebon muncul dalam sejarah Indonesia sejak masuknya Islam yang dibawa pedagang pribumi. Di masa Hindu, peranan Cirebon kurang penting. Cirebon tak bisa lepas dari kisah Sunan Gunungjati alias Syeh Maulana. Pram mengingat tahun 1946  yang diharapkan tak terulang lagi di mana gaji sebagai letnan dua hanya diterima separuh dari yang ditetapkan pemerintah. Korupsi sudah mulai merajalela, begitu kata Pram.

Sejak tahun 1678, di bawah perlindungan Banten, Kasultanan Cirebon terbagi tiga, yaitu pertama Kesultanan Kasepuhan, dirajai Pangeran Martawijaya, dikenal dengan Sultan Sepuh I. Kedua Kesultanan Kanoman, dikepalai oleh Pangeran Kertawijaya atau beken sebagai Sultan Anom I dan ketiga Panembahan yang dikepalai Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon I.

Kota Cirebon tumbuh perlahan-lahan, demikian catatan Nina H Lubis dalam Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat,  pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 ada tiga perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabang di Cirebon. Pada tahun 1877 Cirebon sudah memiliki pabrik es. Pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877.
Bagi yang tertarik menengok peninggalan Cirebon dan Kuningan, Komunitas Historia Indonesia bekerja sama dengan Cirebon Heritage Society - Kendi Pertula, Pemerintah Kota Cirebon, Pemerintah Kabupaten Cirebon, dan Pemerintah Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat akan menggelar Caruban Nagari Heritage Trails: Menelusuri Sejarah, Menguak Jejak Warisan Budaya Caruban Nagari.

Cirebon dan kisah panjangnya tak lepas dari sejarah kota-kota di dekatnya, seperti Kuningan dan Indramayu. Bagaimana kini kondisi makam Sunan Gunungjati, Karesidenan Cirebon, balai kota Cirebon, panorama kota Cirebon dari menara Masjid At-taqwa, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Goa Sunyaragi petilasan para Sultan Cirebon, dan kemudian Kampung Budaya Cigugur di Kuningan? Itu bisa kita lihat langsung bersama rombongan, tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar