Danau Situ Bagendit terletak di Desa Bagendit, Kecamatan Banyuresmi, Jawa Barat,
sekitar empat kilometer dari Kota Garut. Nama danau diambil dari nama
seorang janda kaya yang tamak dan kikir. Karena kekikiran dan
ketamakannya, suatu hari janda itu mendapat pelajaran dari
seorang kakek tua, sehingga ia dan seluruh harta kekayaannya
ditenggelamkan air. Berikut kisah janda kaya itu.
Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, ada seorang janda muda yang kaya raya dan tidak mempunyai anak. Hartanya yang melimpah ruah dan rumah sangat besar yang ditempatinya merupakan warisan dari suaminya yang telah meninggal dunia. Namun sungguh disayangkan, janda itu sangat kikir, pelit, dan tamak. Ia tidak pernah mau memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan. Bahkan jika ada orang miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, ia tidak segan-segan mengusirnya. Karena sifatnya yang kikir dan pelit itu, maka masyarakat di sekitarnya memanggilnya Bagenda Endit, yang artinya orang kaya yang pelit.
Selain
memiliki harta warisan yang melimpah, Bagende Endit juga mewarisi
pekerjaan suaminya sebagai rentenir. Hampir seluruh tanah pertanian di
desa itu adalah miliknya yang dibeli dari penduduk sekitar dengan cara
memeras, yaitu meminjamkan uang kepada warga dengan bunga yang tinggi
dan memberinya tempo pembayaran yang sangat singkat. Jika ada warga yang
tidak sanggup membayar hutang hingga jatuh tempo, maka tanah
pertaniannya harus menjadi taruhannya. Tak heran jika penduduk
sekitarnya banyak yang jatuh miskin karena tanah pertanian mereka habis
dibeli semua oleh janda itu.
Suatu
hari, ketika Bagende Endit sedang asyik menghitung-hitung emas dan
permatanya di depan rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan tua yang
sedang menggendong bayi datang menghampirinya.
“Bagende Endit, kasihanilah kami! Sudah dua hari anak saya tidak makan,” kata perempuan itu memelas.
“Hai
perempuan tua yang tidak tahu diri! Makanya, jangan punya anak kalau
kamu tidak mampu memberinya makan! Enyahlah kau dari hadapanku!” bentak
Bagende Endit.
Bayi
di gendongan perempuan itu pun menangis mendengar suara bentakan
Bagende Endit. Karena kasihan melihat bayinya, pengemis tua itu kembali
memohon kepada janda kaya itu agar memberikan sesuap nasi untuk anaknya.
Tanpa sepatah kata, Bagende Endit masuk ke dalam rumah. Alangkah
senangnya hati perempuan tua itu, karena mengira Bagende Endit akan
mengambil makanan.
“Cup...
cup... cup...! Diamlah anakku sayang. Sebentar lagi kita akan
mendapatkan makanan,” bujuk perempuan itu sambil menghapus air mata
bayinya.
Tak
berapa lama kemudian, Bagende Endit pun keluar. Namun, bukannya membawa
makanan, melainkan sebuah ember yang berisi air dan tiba-tiba Bagende
Endit menyiramkannya ke arah perempuan tua itu.
“Byuuurrr...! Rasakanlah ini hai perempuan tua!” seru Bagende Endit.
Tak
ayal lagi, sekujur tubuh perempuan tua dan bayinya menjadi basah kuyup.
Sang bayi pun menangis dengan sejadi-jadinya. Dengan hati pilu,
perempuan tua itu berusaha mendiamkan dan menyeka tubuh bayinya yang
basah kuyup. Melihat perempuan tua belum juga pergi, janda kaya yang
tidak berpesan itu semakin marah. Dengan wajah garang, ia segera
mengusir perempuan tua itu keluar dari pekarangan rumahnya. Setelah
perempuan tua itu pergi, Bagende Endit kembali masuk ke dalam rumahnya.
Keesokan
harinya, beberapa warga datang ke rumah Bagende Endit meminta air sumur
untuk keperluan memasak dan mandi. Kebetulan di desa itu hanya janda
kaya itulah satu-satunya yang memiliki sumur dan airnya pun sangat
melimpah. Sementara warga di sekitarnya harus mengambil air di sungai
yang jaraknya cukup jauh dari desa.
“Bagende
Endit, tolonglah kami! Biarkanlah kami mengambil air di sumur Bagende
untuk kami pakai memasak. Kami sudah kelaparan,” iba seorang warga dari
luar pagar rumah Bagende Endit.
“Hai,
kalian semua! Aku tidak mengizinkan kalian mengambil air di sumurku!
Jika kalian mau mengambil air, pergilah ke sungai sana!” usir Bagende
Endit.
Para
warga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, mereka pun
terpaksa pergi ke sungai untuk mengambil air. Tak berapa lama setelah
warga tersebut berlalu, tiba-tiba seorang kakek tua renta berdiri sambil
memegang tongkatnya di depan rumah Bagenda Endit. Kakek itu juga
bermaksud untuk meminta air tapi hanya untuk diminum.
“Ampun Bagende Endit! Berilah hamba seteguk air minum. Hamba sangat haus,” iba Kakek itu.
Bagende
Endit yang sejak tadi sudah merasa kesal menjadi semakin kesal melihat
kedatangan kakek tua itu. Tanpa sepata kata pun, ia keluar dari rumahnya
lalu menghampiri dan merampas tongkat sang kakek. Dengan tongkat itu,
ia kemudian memukuli kakek itu hingga babak belur dan jatuh tersungkur
ke tanah. Melihat kakek itu tidak sudah tidak berdaya lagi, Bagende
Endit membuang tongkat itu di samping kakek itu lalu bergegas masuk ke
dalam rumahnya.
Sungguh
malang nasib kakek tua itu. Bukannya air minum yang diperoleh dari
janda itu melainkan penganiayaan. Sambil menahan rasa sakit di sekujur
tubuhnya, kakek itu berusaha meraih tongkatnya untuk bisa bangkit
kembali. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, kakek itu menancapkan
tongkatnya di halaman rumah Bagende Endit. Begitu ia mencabut tongkat
itu, tiba-tiba air menyembur keluar dari bekas tancapan tongkat itu.
Bersamaan dengan itu, kakek itu pun menghilang entah ke mana.
Semakin
lama semburan air itu semakin besar dan deras. Para warga pun berlarian
meninggalkan desa itu untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Bagende
Endit masih berada di dalam rumahnya hendak menyelamatkan semua harta
bendanya. Tanpa disadarinya, ternyata air telah menggenangi seluruh
desa. Ia pun berusaha untuk menyelamatkan diri sambil berteriak meminta
tolong.
“Tolooong....
Toloong... Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Bagende Endit
meminta tolong sambil menggendong sebuah peti emas dan permatanya.
Bagende
Endit terus berteriak hingga suaranya menjadi parau. Namun tak seorang
pun yang datang menolongnya karena seluruh warga telah pergi
meninggalkan desa. Janda kaya yang pelit itu tidak bisa lagi
menyelamatkan diri dan tenggelam bersama seluruh harta kekayaannya.
Semakin lama, desa itu terus tergenang air hingga akhirnya lenyap dan
menjadilah sebuah danau yang luas dan dalam. Oleh masyarakat setempat,
danau itu diberi nama Situ Bagendit. Kata situ berarti danau yang luas, sedangkan kata bagendit diambil dari nama Bagende Endit.
* * *
Demikian cerita Legenda Danau Situ Bagendit
dari daerah Jawa Barat. Hingga kini, Danau Situ Bagendit menjadi salah
satu obyek wisata alam di Jawa Barat. Para pengunjung dapat menikmati
keindahan pemandangan danau ini dengan rakit-rakit yang telah tersedia.
Pelajaran
yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa kekikiran dan
keserakahan terhadap harta benda dapat menyebabkan seseorang celaka.
Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar